Kehidupan
muslim yang baik dapat menyempurnakan akhlaknya sesuai dengan telah dicantumkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlak yang baik dilandasi oleh ilmu, iman, amal, dan
takwa. Ia merupakan kunci bagi seseorang untuk melahirkan perbuatan dalam
kehidupan yang diatur oleh agama.
Dengan ilmu,
iman, amal dan takwa seseorang dapat berbuat kebaikan seperti sholat, puasa,
berbuat baik sesama manusia. Sebaliknya tanpa ilmu iman dan takwa seseorang
dapat berperilaku yang tidak sesuai dengan akhlakul karimah. Sebab ia lupa
bahwa Allah yang telah menciptakannya. Keadaan demikian menunjukkan perlu
adanya pembangunan iman untuk meningkatkan akhlak seseorang.
1. Tingkah Laku Manusia
Tingkah laku
manusia ialah sikap seseorang yang dimanifestasikan dalam perbuatan, sikap
perbuatan boleh jadi tidak di gambarkan dalam perbuatan atau tidak tercerminkan
dalam perilaku sehari-hari.
Untuk melatih
akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari misalkan dapat diterapkan dengan :
a. Akhlak yang
berhubungan dengan Allah
b. Akhlak terhadap diri
sendiri
c. Akhlak terhadap
keluarga
d. Akhlak terhadap
masyarakat
e. Akhlak terhadap alam
sekitar
Kecenderungan
fitrah manusia untuk berbuat baik (hanif), dan secara fitrah manusia, seseorang
muslim dilahirkan dalam keadaan suci. Sebaliknya
Allah membekali manusia di bumi dengan akal, pikiran, dan iman kepada-Nya.
Keimanan itu dalam perjalanan hidup manusia dapat bertambah atau berkurang di
sebabkan oleh pengaruh lingkungan hidup yang dialaminya.[1]
2. Insting dan Naluri
Menurut bahasa
insting berarti kemampuan berbuat pada suatu tujuan yang dibawa sejak lahir,
merupakan pemuasan nafsu, dorongan, dorongan nafsu, dan dorongan psikologis.
Insting juga merupakan kesanggupan
melakukan hal yang komplek tanpa di lihat sebelumnya, terarah kepada suatu tujuan yang berarti bagi subjek tidak
disadari langsung secara mekanis.
Menurut James,
insting ialah suatu sifat yang menyampaikan pada tujuan dan cara berfikir.[2]
Insting merupakan kemampuan yang melekat sejak lahir dan dibimbing oleh
nalurinya.
Insting pada
intinya ialah suatu kesanggupan untuk
melakukan perbuatan yang tertuju kepada sesuatu pemuasan dorongan nafsu atau
dorongan batin yang telah dimiliki manusia sejak lahir. Insting terdiri
dari empat pola khusus yaitu:
a. Sumber insting.
Sumber insting berasal dari kondisi jasmaniah, untuk melakukan kecenderungan,
lama-lama menjadi kebutuhan.
b. Tujuan insting.
Tujuan insting ialah menghilangkan rangsangan jasmaniah untuk menghilangkan
perasaan tidak enak yang timbul karena adanya tekanan batin.
c. Objek insting. Obyek
insting merupakan segala aktivitas yang mengantar keinginan dan memilih-milih
agar keinginannya dapat terpenuhi
d. Gerak insting. Gerak
insting tergantung kepada intensitas kebutuhan.
Dalam ilmu akhlak insting berarti akal pikiran.
Akal dapat memperkuat akidah, namun harus di topangi ilmu, amal dan takwa
kepada Allah. Allah memuliakan akal dengan dijadikannya sebagai sarana tanggung
jawab.[3]
Akal adalah
jalinan pikir dan rasa yang menjadikan manusia,
berlaku, berbuat membentuk dan membina. Akal menjadikan manusia itu
mukmin, muslim, muttaqin shalihin. Agama itu akal maka
hanya dengan akallah dapat memahami
Allah, akal merupakan kunci untuk memahami Islam.[4]
Keadaan
pribadi manusia bergantung pada asalnya terhadap naluri akal dapat menerima
naluri tertentu, sehingga terbentuk kemauan yang melahirkan tindakan. Akal dapat mengendalikan naluri sehingga terwujud
perbuatan yang diputuskan oleh akal. Hubungan naluri dan akal membentuk
kemauan. Kemauan melahirkan tingkah laku perbuatan naluri yang ada pada diri seseorang adalah takdir
Tuhan.[5]
3. Nafsu
Nafsu berasal dari
bahasa Arab, yaitu nafsun yang artinya niat.[6]
Nafsu adalah keinginan hati yang kuat.
Nafsu merupakan kumpulan dari amanah dan
syahwat yang ada pada manusia.
Menurut Kartini
Kartono nafsu ialah dorongan batin yang sangat kuat, yang memiliki
kecenderungan yang hebat sehingga menganggu keseimbangan fisik.
Dilihat dari definisi
diatas berarti nafsu ialah suatu gejolak jiwa yang selalu mengarah kepada
hal-hal yang mendesak, kemudian diikuti
dengan keinginan-keiginan pada diri seseorang untuk mencapai tujuan tertentu.
Nafsu selalu mendorong kepada hal yang negatif yang perlu diperbaiki dengan tazkiyat an-nafsi, maksudnya pembersihan jiwa yang
juga meliputi pembinaan dan pengembangan jiwa.[7]
Nafsu-nafsu yang
ada pada manusia ada tiga yaitu:
a) Nafsu Ammarah, yaitu yang melahirkan bermacam-macam
keinginan untuk dapat dipenuhi nafsu ini
belum memperoleh pendidikan dan
bimbingan sehingga belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
b) Nafsu Lawwamah,
yaitu nafsu yang menyebabkan manusia terlanjur untuk melakukan kesalahan
dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya.
c) Nafsu Muthmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapatkan
tuntunan, bimbingan, pemeliharaan yang baik dan pendidikan. Nafsu ini dapat
mendatangkan ketenangan batin melahirkan sikap akhlak yang baik dan selalu
mendorong untuk melakukan kebajikan dan menjauhi maksiat.[8]
Yang disebabkan oleh meningkatkannya energi pada tubuh.
4. Adat dan Kebiasaan
Adat menurut
bahasa ialah aturan yang lazim diikuti sejak dahulu. Biasa adalah kata dasar yang mendapat imbuhan
ke-an, artinya boleh, dapat atau sering. Menurut Nasraen, adat itu ialah suatu
pandangan hidup yang mempunyai ketentuan-ketentuan yang obyektif kokoh dan
benar serta mengandung nilai mendidik yang besar terhadap seseorang dalam
masyarakat.[9]
Kebiasan terjadi
sejak lahir. Lingkungan yang baik mendukung kebiasaan yang baik pula. Kebiasaan
adalah rangkaian perbuatan yang dipengaruhi akal pikiran. Pada permulaan sangat
dipengaruhi akal pikiran. Pada
permulaan sangata dipengaruhi pikiran. Tetapi makin lama pengaruh pikiran itu
makin berkurang karena seringkali dilakukan. Kebiasaan merupakan kualitas
kejiwaan, keadaan yang tetap, sehingga memudahkan pelaksanaan
perbuatan.
Menurut Soerjono Soekanto, kebiasaan sebagai
perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama dan kebiasaan ialah tingkah
laku yang sudah distabilkan. Umumnya pembentukan kebiasaan itu di bantu oleh
refleksi-refleksi, maka refleksi itu menjadi khas dasar bagi pembentukan
kebiasaan. Dan pada akhirnya kebiasaan itu berlangsung otomatis dan mekanis
terlepas dari pemikiran dan kesadaran,
namun sewaktu-waktu pikiran dan
kesadaran itu bisa difungsikan lagi untuk memberikan pengarahan baru
bagi pembentukan kebiasaan baru.
5. Lingkungan
Lingkungan ialah
ruang lingkup luar yang berinteraksi dengan insan yang dapat berwujud
benda-benda seperti air, bumi, langit dan matahari. Lingkungan dapat memainkan
peranan dan pendorong terhadap perkembangan kecerdasan, sehingga manusia dapat
mencapai taraf yang setinggi-tingginya dan sebaliknya.[10]
Lingkungan ada dua
jenis yaitu:
1) Lingkungan Alam.
Alam ialah seluruh ciptaan
Tuhan baik dilangit dan dibumi selain Allah. Alam dapat menjadi aspek yang
memengaruhhhi dan menentukan tingkah laku manusia.
2) Lingkungan Pergaulan
Lingkungan ini mengandung
pergaulan meliputi lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, singkatnya bahwa
lingkunganlah yang banyak membentuk kemajuan pikiran dan kemajuan teknologi,
namun juga dapat menjadikan perilaku
baik dan buruk.
Lingkungan
merupakan salah satu faktor pendidikan
Islam yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap anak didik. Lingkungan yang dapat memberi pengaruh
terhadap anak didik dapat di bedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1) Lingkungan yang acuh
tak acuh terhadap agama
2) Lingkungan yang
berpegang teguh kepada tradisi agama
3) Lingkungan yang
mempunyai tradisi agama dengan sadar dan hidup dalam lingkungan agama.[11]
Oleh karena
itu, lihatlah dengan siapa berhubungan, dimana beradaptasi, akal harus dapat
membedakan dan menempatkannya sesuai fitrah manusia.
Baca juga artikel yang lain:
[1]Zakiyah
Daradjat, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2002), hlm.273.
[2] Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), hlm. 13.
[3] Syekh Hasan Al-Banna, Aqidah Islam, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1983), hlm. 9.
[5] Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.
111.
[6] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah, 1998), hlm. 124.
[7] Af. Jaelani, Penyucian Jiwa Mental,
(Jakarta: Amzah, 2000), hlm. 44.
[8] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 122.
[9] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990), hlm.
32.
[10] Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm.55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar